Rosdalina Bukido Tekankan Moderasi Beragama yang Inklusif bagi Majelis Taklim se Kota Manado
Manado, 16 Oktober 2025 — Kegiatan ini kerjasama LP3 Citra Muda Insani Manado dengan Direktorat Jenderal BIMAS Islam Kementerian Agama RI menyelenggarakan kegiatan “Penguatan Pendidikan Moderasi Beragama bagi Majelis Taklim di Kota Manado” pada Kamis (16/10) pukul 13.30 WITA, bertempat di Aula MAN Model 1 Manado. Kegiatan ini menghadirkan utusan dari berbagai majelis taklim di Kota Manado, dengan kehadiran perwakilan resmi Kemenag Kota Manado, yakni Kasubag Kemenag Manado, Pdt. Raymond Pietersz, yang menegaskan komitmen pemerintah untuk memperkuat jejaring edukasi keagamaan yang inklusif, menyejukkan, dan berorientasi pada harmoni sosial di tengah masyarakat yang plural. Di hadapan peserta, panitia menekankan bahwa penguatan kompetensi sosial-keagamaan para penggerak majelis taklim merupakan kunci merawat ruang publik yang aman, ramah, serta bebas dari ujaran kebencian dan polarisasi.

Sesi inti kegiatan dibawakan oleh Prof. Dr. Rosdalina Bukido, M.Hum., CPM. Di moderator oleh Siska Zakaria, S.H.I., memaparkan materi bertajuk “Pengembangan Sikap Inklusif & Toleransi serta Praktik Moderasi.” Dalam paparannya, Rosdalina menegaskan bahwa moderasi beragama bertumpu pada tiga nilai inti: kasih (rahmah), kelembutan (rifq), dan memudahkan (taysîr), nilai-nilai yang menghadirkan wajah dakwah yang menenteramkan, merangkul, dan tidak menghakimi. Ia menekankan bahwa toleransi bukanlah kompromi akidah, melainkan sikap menghormati keyakinan dan peribadatan pihak lain tanpa merendahkan simbol-simbol agama, sembari menjaga tutur kata damai serta etika dialog yang baik. Rosdalina juga menggarisbawahi pentingnya “adab sosial” dalam praktik keseharian jamaah majelis taklim: penataan pengeras suara, arus parkir, dan penyediaan ruang tunggu yang ramah bagi tamu lintas-iman, beserta kebiasaan “3S”—Salam, Senyum, Sapa—sebagai budaya damai yang mengikis prasangka dan memperkuat kohesi sosial.
Penguatan moderasi beragama, lanjut Rosdalina, juga menuntut kecermatan berbahasa di mimbar: membedakan kritik terhadap ide dari martabat pribadi, menghindari pelabelan dan generalisasi, serta memverifikasi informasi sebelum disebarluaskan. Dalam konteks kebijakan internal majelis, prinsip good governance versi syariah dihadirkan melalui keberpihakan pada kemaslahatan jamaah: keputusan yang memudahkan, menolak mafsadat, serta menjaga ketenangan dan keselamatan ruang sosial. Dengan pendekatan ini, majelis taklim diharapkan tidak hanya menjadi pusat pengajaran agama, tetapi juga lokomotif pendidikan publik yang memuliakan martabat manusia (takrīm al-insān), mendorong empati lintas-iman, dan menguatkan solidaritas kota. Di penghujung sesi, Rosdalina mengajak peserta untuk mempraktikkan bahasa yang menyejukkan, mengedepankan dialog bil-hikmah, dan menjadikan salam, senyum, serta pelayanan sosial sederhana termasuk berbagi makanan sebagai ibadah sosial yang menumbuhkan rasa saling percaya.


Kehadiran Kasubag Kemenag Kota Manado, Pdt. Raymond Pietersz, menjadi penanda dukungan kelembagaan negara terhadap agenda moderasi beragama yang bersifat praktis dan berjangka panjang. Ia mengapresiasi partisipasi luas majelis taklim di Manado dan menilai bahwa kolaborasi Kemenag, LP3 Citra Muda Insani, dan BKMT Sulawesi Utara merupakan model kemitraan yang efektif untuk memperkuat kapasitas grassroots dakwah. Dengan aksen lintas-iman yang kuat, kegiatan ini diharapkan memunculkan best practice yang dapat direplikasi di wilayah lain: jadwal kegiatan yang selaras dengan lingkungan sekitar, tata suara yang bijak, hingga layanan ramah bagi tetangga non-Muslim, seluruhnya merupakan bentuk konkrit bahwa iman sejati harus berbuah pada relasi sosial yang damai dan saling menghormati.
Sebagai tindak lanjut, panitia mendorong setiap utusan majelis taklim untuk memetakan kebutuhan edukasi komunitasnya dan menyusun pedoman etika internal yang sederhana namun operasional: standar komunikasi dakwah yang menyejukkan, prosedur verifikasi informasi, serta protokol acara yang sensitif terhadap keberagaman lingkungan. Dengan demikian, penguatan moderasi beragama tidak berhenti pada tataran wacana atau seremoni, melainkan menjadi kebiasaan kolektif yang membentuk atmosfer kota yang rukun, aman, dan menenteramkan, sejalan dengan semangat Manado sebagai rumah bersama bagi semua warganya.


